Tugas 3 Etika bisnis
Analisis Konflik Pada Perusahaan PT Drydock World Graha diBatam
Pada tanggal 22 April 2010, ribuan karyawan sebuah perusahaan galangan kapal,
PT Drydocks World Graha yang berlokasi di Tanjung Udang, Batam, turun untuk
berdemonstrasi dan melakukan aksi pembakaran terhadap fasilitas perusahaan.
Media memberitakan paling tidak 9 orang terluka dan puluhan mobil dibakar.
Konflik bermula dari umpatan seorang supervisor asal India yang mengatakan
bahwa orang Indonesia “stupid” kepada tenaga kerja Indonesia. Tetapi pemicu
dari kerusuhan ini tidak hanya itu saja, akumulasi dari rasa kesal terhadap
pembedaan dalam gaji dan fasilitas antara tenaga kerja Indonesia dan tenaga
kerja asing merupakan faktor terjadinya konflik.
Selain itu, dalam wawancara dengan beberapa karyawan PT. Drydocks, diketahui
bahwa perusahaan ini tidak menerapkan undang-undang yang mengatur dengan jelas
perekrutan tenaga kerja oleh Investasi Asing di Indonesia. Selain itu sistem
kerja yang diantaranya meliputi sistem pengupahan yang dimuat pada Pasal 45
Huruf a UU Ketenagakerjaan No 13/2003 tidak diterapkan. Pasal ini mengatur
bahwa pemberi tenaga kerja asing (perusahaan) wajib menunjuk tenaga kerja
Indonesia sebagai tenaga pendamping untuk alih teknologi dan alih keahlian.
Sementara Pasal 45 Huruf b menyebutkan, pemberi tenaga kerja asing wajib
melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai
dengan kualifikasi jabatan yang diduduki tenaga kerja asing tersebut. Pada
perusahaan Drydocks ini, tenaga kerja asing tidak didampingi asisten lokal.
Kalaupun didampingi, tenaga kerja asing tidak melakukan alih teknologi apa pun.
Sehingga, pengabaian terhadap pasal dalam UU ketenagakerjaan ini juga menjadi
salah satu pemicu konflik di perusahaan ini.
Menurut data dari Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi pada tahun 2009,
jumah Tenaga Kerja Asing di Indonesia kurang lebih 90.000 orang banyak yang
berasal dari Cina, Jepang, Korea, India, dan negara-negara lainnya. Dengan
semakin meningkatnya arus tenaga kerja asing ke Indonesia, maka situasi-situasi
multinasional atau multikultural yang rawan terhadap konflik akan semakin
banyak tercipta (Dian, 1998). Karena konflik yang terjadi dalam organisasi,
menurut Greenberg & Baron (dalam Dian, 1998) selain dapat memiliki konsekuensi
yang positif, juga dapat memiliki konsekuensi yang negatif. Konsekuensi yang
positif berupa terdorongnya kreatifitas, disiplin, semangat kerja, kemampuan
adaptasi, dan hal-hal yang dapat mendorong kemajuan organisasi.
Sedangkan konsekuensi yang negatif adalah menurunnya produktifitas, melemahnya
semangat kerja, meningkatnya rasa tidak puas dan juga meningkatnya ketegangan
dalam organisasi. Pada kasus PT. Drydocks ini, konsekuensi negatifnya berbuntut
menjadi kerusuhan dan berhentinya produktifitas perusahaan. Kasus ini menjadi
menarik karena selain menjadi pemberitaan besar di media massa, kasus ini juga
membuka mata masyarakat akan fenomena tenaga kerja Indonesia di negerinya
sendiri.
Pada makalah ini, kami akan menganalisa kasus ini berdasarkan perspektif teori
konflik bila dikaitkan dengan kerusuhan di PT. Drydocks World Batam. Lebih
lanjut kami akan menganalisa faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab
terjadinya konflik antara tenaga kerja asing dan tenaga kerja indonesia di
perusahaan ini dan bagaimana kecenderungan gaya penanganan konflik yang
diterapkan oleh PT. Drydocks dalam mengatasi konflik ini. Sehingga diharapkan,
kasus ini dapat membuka mata kita akan dinamika konflik dalam organisasi dan
penangulangannya.
Konflik merupakan sesuatu yang wajar terjadi karena dalam suatu organisasi
masing-masing individu memiliki perbedaan. Robins & Judge (2008)
mendefinisikan konflik sebagai sebuah proses yang dimulai ketika satu pihak
memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif, atau akan
mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi perhatian dan kepentingan
pihak pertama
Pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap
orang lain atau organisasi dengan kenyataan apa yang didapatkan dapat
menimbulkan konflik. Selain itu, Daniel Webster (dalam Pickering, 2006)
menyatakan bahwa konflik adalah:
• Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama
lain
• Keadaan atau perilaku yang bertentangan (misal: pertentangan pendapat, kepentingan
atau pertentangan antar individu).
• Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang
bertentangan
• Perseteruan
Pertentangan sangat mungkin terjadi karena setiap orang dalam suatu organisasi
memiliki pandangan yang berbeda atas tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Ketika mereka berinteraksi maka konflik menjadi potensial untuk muncul. Konflik
dalam organisai dapat menimbulkan konsekuensi positif dan negatif. Konflik
positif dapat mendorong inovasi organisasi, kreativitas dan adaptasi. Sedangkan
konflik yang sering muncul ke permukaan adalah konflik yang bersifat
disfungsional. Konflik seperti inilah yang dapat menurunkan produktivitas,
menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan ketegangan dan stress dalam organisasi
(Gitosudarmo & Sudita, 2000).
Konfik yang menjadi kerusuhan di PT. Drydocks World Graha yang berlokasi di
Batam terjadi pada tanggal 22 april 2010. Pada kerusuhan ini, setidaknya 8.000
pekerja Indonesia melakukan demonstrasi dan pengrusakan fasilitas. Selain
kantor dan gudang yang dibakar, puluhan mobil juga dibakar. Tak ada korban
tewas, tapi setidaknya sembilan orang terluka dengan lima warga asing dan empat
karyawan.
Kerusuhan ini dipicu karena seorang pengawas asal India di PT Drydocks World
Graha yang memaki pekerja asal Indonesia dengan kata-kata ”stupid” (bodoh).
Kemudian, karyawan lainnya mengeroyok pengawas ini, dan melakukan pengejaran
kepada pekerja WNA lainnya. Konflik ini merupakan akumulasi dari persepsi
pekerja WNI terhadap perbedaan perilaku perusahaan dengan pekerja WNA.
Menurut Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Ikbal,
selama ini pekerja di galangan kapal harus memenuhi alat keselamatan kerjanya
dengan dana mereka sendiri, upah mereka juga murah dan dipotong oleh agen karena
sebagian adalah pekerja outsourcing dan tidak ada jaminan kesehatan. FSPMI,
yang membawahi sekitar lima ribu buruh di salah satu anak perusahaan Drydock di
Batam meminta ada perbaikan sistem kerja yang ada di perusahaan tersebut.
Selain itu, berdasarkan wawancara dengan karyawan PT.Drydocks, bahkan tidak ada
satu orangpun, WNI yang menjadi staf tinggi di perusahaan tersebut. Dalam
wawancara tersebut, buruh PT Drydocks World Graha mengemukakan bahwa
Diskriminasi terhadap buruh Indonesia jelas-jelas dirasakan. Diskriminasi itu,
antara lain, terjadi pada gaji dan fasilitas. Untuk level yang sama, gaji dan
fasilitas yang diterima buruh ekspatriat selalu lebih baik daripada buruh
Indonesia. Mandor perusahaan galangan kapal, misalnya, jika posisi itu ditempati
buruh ekspatriat, yang bersangkutan akan mendapat fasilitas tempat tinggal dan
sejumlah kebutuhan bulanan, seperti sabun cuci. Fasilitas seperti ini tidak
akan didapatkan buruh Indonesia. Soal gaji pada level penyelia dengan ijazah
sarjana (S-1), bagi buruh Indonesia sekitar Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta per
bulan. Sementara buruh asing bisa mendapatkan gaji 10 kali lipatnya dan juga
tidak sedikit buruh asing yang bekerja di level mandor sampai penyelia yang
tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Hal ini juga diungkapkan Ketua Kelompok Kerja Ketenagakerjaan Komisi IX DPR RI,
Arif Minardi. Arif juga mengemukakan terdapat perbedaan yang mencolok di antara
tiga komisi, tenaga asing, tenaga tetap, dan yang dikontrak," usai
menelusuri fakta kerusuhan Drydocks World. Dalam level pekerjaan yang sama, TKA
digaji dengan standar dolar Singapura, sedang pekerja tetap Indonesia
menggunakan rupiah yang nilainya di bawah TKA. Perbandingan gaji TKA dengan
pekerja lokal dalam level yang sama sangat jauh. Gaji TKA, minimal 4.500 dolar
Singapura (sekitar Rp30.000.000) , sedang pekerja Indonesia, yang sudah
berpengalaman lima tahun, hanya diberi upah Rp5-7 juta.
Ketua PUK Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia dalam Kompas (21/04/2010),
Nanindah Anggun Hidayatullah juga mengatakan bahwa buruh Indonesia mayoritas
ditempatkan di bagian pesuruh dan pertukangan sedangkan level mandor dan
penyelia sebagian diisi buruh asing. Padahal, kalau mau jujur, orang Indonesia
juga mampu mengisi semua (level) itu,” ujarnya. Selain itu, dalam konteks
penanaman modal asing, alih teknologi sebagaimana disyaratkan Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 ternyata juga banyak tidak direalisasikan.
Menurut Pasal 45 Huruf a UU Ketenagakerjaan No 13/2003, pemberi tenaga kerja asing
wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping untuk alih
teknologi dan alih keahlian. Sementara Pasal 45 Huruf b menyebutkan, pemberi
tenaga kerja asing wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi
tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki tenaga
kerja asing tersebut. Terkait pasal itu, sejumlah buruh menyatakan, banyak
perusahaan galangan kapal di Batam yang tidak merealisasikan hal itu. Umumnya,
tenaga kerja asing tidak didampingi asisten lokal. Kalaupun didampingi, tenaga
kerja asing tidak melakukan alih teknologi apa pun.
Sementara itu, pekerja kontrak dibayar per jam, yang nilainya relatif kecil
karena terpotong-potong. Subkontraktor menurunkan lagi pekerjaan ke
subkontraktor lain, yang bisa sampai sembilan kali sub, sehingga membuat nilai
upah pekerja semakin kecil karena dipotong untuk subkontraktor.Tenaga kerja
tetap mendapatkan fasilitas pengamanan pekerjaan yang bagus, sedangkan karyawan
kontrak harus melengkapi keselamatan diri sendiri.
(sumber dirangkum dari beberapa media cetak, wawancara dengan karyawan PT.
Drydocks dan website).
IV.Analisa Kasus
Kasus ini dapat dikategorikan sebagai intergroup conflict, dimana ada konflik
terjadi didalam organisasi antara Tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja
asing, dan juga tenaga kerja Indonesia dengan PT.Drydocks. Konflik yang terjadi
merupakan konflik horizontal antara sesama tenaga kerja dan juga konflik
vertikal, yaitu antara tenaga kerja Indonesia dengan PT.Drydocks.
Pada awal proses terjadinya konflik, tahap pertama yang terjadi adalah potensi
pertentangan atau ketidakselarasan. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah
perbedaan gaji antara tenaga kerja Indonesia dan Asing yang jauh sekali,
perbedaan fasilitas, tunjangan-tunjangan dan pemotongan gaji oleh outsource.
Menurut Robbins (2008), kondisi-kondisi tersebut dipadatkan dalam tiga kategori
umum yaitu:
1. Komunikasi
Dalam kasus ini yang menjadi sumber konflik yang diekspos oleh media adalah
pernyataan dari Seorang Supervisor berkebangsaan India pada perusahaan Drydocks
yang berbau SARA yang menyatakan bahwa orang indonesia ‘‘stupid“. Namun sumber
konflik yang sebenarnya terjadi bukan hanya menyangkut isu SARA, melainkan
adanya permasalahan dalam komunikasi. Permasalahan dalam komunikasi juga dapat
dilihat ketika mereka jarang bekerja sama dan berbaur satu sama lainnya seperti
yang dikemukakan oleh AB ( wawancara dengan karyawan PT.Drydocks).
Masing-masing dari mereka lebih senang berkumpul dan berkomunikasi dengan
komunitas asal negara mereka sendiri-sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh McShane (2005) bahwa permasalahan komunikasi bisa menjadi
sumber konflik.
McShane (2005) juga mengemukakan bahwa kecenderungan merasa tidak nyaman atau
canggung untuk berinteraksi dengan orang atau individu yang berasal dari budaya
yang berbeda membuat mereka cenderung menggunakan stereotip untuk mengisi
kurangnya informasi yang didapat. Supervisor berkebangsaan India ini
menggunakan stereotip dalam menilai bawahannya yang merupakan tenaga kerja
Indonesia. Kalimat ”Indonesian Stupid” ini digeneralisasi oleh karyawan lainnya
seperti yang dikemukakan dalam salah satu wawancara kami dengan satu karyawan
PT. Drydocks. Karyawan ini mengemukakan bahwa ia merasa harga dirinya sebagai
bangsa Indonesia terinjak-injak yang juga disetujui oleh rekan-rekan
sekerjanya. Dapat dilihat bahwa sumber konflik yang ada juga merupakan adanya
perbedaan nilai dan keyakinan diantara mereka. Menurut Tenaga kerja asing,
berkata dengan kalimat makian pada satu negara adalah hal yang biasa, tapi bagi
orang Indonesia bisa menjadi hal yang diperbesar dan digeneralisasi.
2. Struktur
Konflik antara TKA dan TKI ini bersifat struktural karena mencakup
variabel-variabel seperti kadar spesialisasi dalam tugas-tugas yang diberikan
dalam organisasi, kejelasan yurisdikasi, keserasian antara anggota dengan
tujuan, sistem imbalan dan gaya kepimpinanan.
Dapat dilihat wawancara dengan beberapa karyawan PT.Drydock bahwa sebagian
besar dari mereka adalah karyawan kontrak yang berasal dari outsourcing. Mereka
baru akan diangkat menjadi karyawan tetap setelah tiga tahun bekerja, tetapi
tidak selalu begitu. Kadang beberapa orang karyawan terus diperpanjang
kontraknya sehingga tidak jelas yurisdikasinya. Pada level pekerjaan yang sama,
sistem imbalan yang tidak seimbang menyebabkan sumber konflik yang besar.
Menurut Robbins (2008), ketika perolehan suatu kelompok dipandang merugikan
kelompok lain, maka akan terjadi potensi pertikaian yang tinggi. Selain itu,
diketahui bahwa tidak ada perwakilan Orang Indonesia dalam staf tinggi
PT.Drydocks yang berlokasi di Graha ataupun di dua tempat lainnya di Batam.
Sehingga, gaya kepimpinan yang digunakan oleh PT.Drydocks yang cenderung kepada
suatu kelompok juga memperbesar potensi konflik.
3. Variabel Pribadi
Pada wawancara dengan Dosen Psikologi Industri dan Organisasi Universitas
Indonesia, Drs. Iman Sukhirman, M. Si bahwa perbedaan nilai dan keyakinan dalam
suatu perusahaan yang dibawa oleh masing-masing individu dari latar belakang
dan pengalaman yang berbeda dapat menjadi sumber konflik, oleh karena itu
diperlukan adanya kesamaan pandangan agar masing-masing tidak membawa nilai dan
keyakinannya masing-masing, tetapi merasa sebagai satu kesatuan. Terjadinya
kerusuhan tersebut juga disebabkan karena adanya ketidakmatangan intelektual,
emosi dan spiritual quotient yang dimiliki tenaga kerja indonesia itu sendiri.
Ketiga hal ini termasuk ke dalam faktor penyebab terjadinya konflik yang
berasal dari variabel-variabel pribadi. Menurut beliau, tenaga kerja indonesia
hanya disuruh bekerja saja, tanpa dibekali ketiga kemampuan tersebut. Sehingga
dalam menghadapi konflik, mereka tidak bisa berpikir, bertindak dan berperilaku
jernih tetapi langsung meresponnya dengan sikap impulsif, agresi, dan merusak
dengan membakar ‘‘lumbung‘‘ yang merupakan mata pencaharian mereka. Hal yang
sebaiknya dilakukan bukan dengan cara kekerasan, namun harus menggunakan akal
pikiran untuk mengatasi konflik. Kalaupun mereka marah, setidaknya kemarahan
mereka ditunjukkan dengan cara yang lebih intelektual yaitu lewat jalur hukum.
Untuk menyeret bos india ke jalur hukum harus menggunakan akal dan strategi
seperti dengan menyiapkan voice recorder, kemudian memancing supervisor
berkebangsaan india tersebut untuk mengeluarkan pernyataan yang menghina dan
merekamnya sudah cukup bisa dijadikan cukup bukti. Dengan demikian, keadilan
pun akan berpihak pada mereka dengan dikeluarkannya supervisor india tersebut
dari perusahaan tanpa harus merusak pabrik yang sudah jelas merupakan sumber
mata pencaharian mereka.
Kemudian beliau melanjutkan pernyataannya dengan memberikan analogi kasus
demonstrasi karyawan di salah satu perusahaan di Jepang yang menuntut kenaikan
gaji, karena dianggap gaji mereka sudah tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan
yang diminta perusahaan. Karyawan perusahaan tersebut melakukan demonstrasi
berupa mogok kerja hanya pada hari dan jam-jam tertentu. Kerugian mogok kerja
yang dilakukan setiap hari tertentu dan hanya selama 2-3 jam tersebut di hitung
perusahaan mengalami kerugian milyaran rupiah. Pihak perusahaan kewalahan,
karena karyawan tidak melakukan tindakan anarkis, sehingga pihak perusahaan
tidak bisa melakukan apa-apa selain bernegosiasi tawar-menawar dalam
menyelesaikan masalah untuk mencari kesepakatan bersama antara kedua belah
pihak (antara perusahaan dan karyawan).
Jika kondisi dalam tahap I jelas mempengaruhi terjadinya konfik maka tahap
kedua yang terjadi adalah konflik yang dipersepsi dan dipersonalisasi. Dapat
dilihat pada beberapa pernyataan dari karyawan PT. Drydocks ini antara lain:
I : ’’ Siapa yang gak marah, mba.. coba deh, gaji saya sama ma Mr. X (seorang
India) yang jelas-jelas pekerjaannya sama jadi marker. Pendidikan saya malah
lebih tinggi dari dia, cuman mang dia bahasa Inggrisnya bagus aja. Selama saya
kerja dari awal disitu, saya dikontrak terus gak jadi karyawan tetap. Gak tau
sampai kapan saya kerja kayak gini kalo perlakuannya“
B: ‚’’ Rasanya mau saya injek-injek tuh para India ma orang singapur itu mba..
kesel saya ma orang itu. Nasionalisme saya rasanya uuuuu.. mau tercabik-cabik
pas dengan orang Indon itu stupid..“
Sehingga dapat dilihat bahwa konflik ini telah dipersepsi oeh mereka secara
emosional, dan merasakan kecemasan, tegang, frustasi dan rasa bermusuhan. Emosi
memainkan peranan utama dalam membangun persepsi sehingga emosi negatif yang
tercipta dapat menurunkan kepercayaan dan interpretasi negatif atas perilaku
TKA.
Kemudian tahap ketiga adalah Maksud (Intentions), adalah tahap dimana mereka
memutuskan untuk bertindak tertentu. Dapat dilihat disini setelah sekian lama
bahwa TKI tidak bekerja sama, akomodatif dan kompromis pada TKA lagi. Pada
awalnya, TKI melakukan tindakan avoding(menghindar) konflik dan mengakomodasi
kepentingan TKA. Tapi kemudian,tindakan ini menjadi persaingan dengan cara
menjatuhkan kepentingan salah satu diantaranya. Dalam hal persaingan untuk
mendapatkan tujuannya yaitu perlakuan adil dalam berbagai aspek oleh
PT.Drydocks.
Tahap keempat adalah Perilaku yang meliputi pernyataan, aksi, dan reaksi yang
dibuat oleh masing-masing pihak. Upaya kasat mata untuk mengoperasikan maksud
dari masing-masing pihak adalah mulai dari kesalahpahaman kecil dalam hubungan
antarpribadi karyawan, terang-terangan menentang, serangan verbal secara kasar
seperti yang dilakukan oleh supervisor India tadi, ancaman untuk membunuh
supervisor tadi dan ultimatum untuk mengusir para TKA yang berlangsung cepat
sesaat setelah serangan verbal, kemudian sampai ke serangan fisik secara
agresif. Serangan fisik secara agresif ini ditujukan pada TKA yang kemudian
terluka, mobil-mobil yang dibakar, gudang dan infrastruktur lainnya yang
dirusak.
Sehingga yang terjadi pada tahap kelima adalah akibat disfungsional yaitu suatu
konsekuensi destruktif dari konflik. Sampai akhir April 2010, 70% PT.Drydocks
Graha baru bisa beroperasi dikarenakan infrastruktur yang sempat rusak dan
tidak memungkinkan karyawan untuk bekerja dalam beberapa hari dan menyebabkan
kerugian yang cukup besar. Denis Welch selaku Chief executive officer dari
Drydocks-World South Asia kemudian membuat statemen terhadap apa yang terjadi
di Drydocks kepada Pers dan menjelaskan kepada DPR-RI.
Sampai saat ini, berita yang masih terdengar adalah mediasi Pemerintah dalam
hal ini Kementerian tenaga kerja dan transmigrasi sebagai pihak ketiga yang
menengahi kasus ini. Menurut beberapa karyawan PT.Drydocks Graha, negosiasi
yang mereka inginkan adalah satu penyelesaian yang dapat menciptakan solusi
menang-menang. Negosiasi ini disebut negosiasi integratif yang ditujukan untuk
menjaga fleksibelitas. Mereka ingin PT.Drydocks ditegur dan diawasi pemerintah
dalam menjalankan UU tenaga kerja yang sebenar-benarnya. Melalui Serikat
Pekerja Metal Indonesia, diharapkan aspirasi mereka tersampaikan. Mereka juga
mengemukakan bahwa mereka ingin kondisi yang nyaman untuk bisa bekerja dengan
baik, dihargai dan diperlakukan baik di negeri mereka sendiri.
Menakertrans juga mengupayakan agar para TKA harus mengerti budaya Indonesia
dan menghargainya. Cara yang digunakan adalah dengan kembali menyebarkan
informasi melalui spanduk-spanduk, pamflet-pamflet untuk mengajak TKA untuk
berlaku menghargai Indonesia dan bersama-sama mencapai kedamaian. Menakertrans
juga menghimbau untuk memperbaiki komunikasi dan saling memahami. PT.Drydocks
juga diminta untuk meninjau ulang kebijakan dalam sistem outsourcingnya, sistem
gaji antara TKA dan TKI, sistem karyawan kontrak untuk tenaga kerja asing, dan
fasilitas dan tunjangan lainnya yang selama ini dibedakan. Sehingga dapat
mengurangi kecemburuan diantara pihak ini. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh McShane (2005) bahwa pendekatan untuk manajemen konflik dapat
berupa Reducing differentition, improving communication and understanding, dan
clariflying rules and procedures.
Sampai saat ini, belum ada berita dari proses negosiasi diantara pihak-pihak
internal PT.Drydocks ini sehingga kami belum bisa menganalisa lebih lanjut
tentang kondisi lanjutan pasca kerusuhan 22 April ini.
Kesimpulan :
a. Konflik sering terjadi pada kondisi kerja multikultural dikarenakan adanya
pembedaan dan masalah komunikasi diantara karyawan baik horizontal maupun
vertikal.
b. Konfllik meningkat ketika terjadi perbedaan nilai dan keyakinan, dan
variabel pribadi yang memungkinkan untuk cepat terespon dengan pemicu konflik.
c. Managemen konflik sangat diperlukan unuk meminimalisir konsekuensi
disfungsional dari konflik. Dalam hal ini, kepentingan dari berbagai pihak
harus dipertimbangkan sehingga tercipta kondisi yang fungsional.
d. Untuk mencapai kondisi yang fungsional, diperlukan adanya resolusi konflik
yang dapat membantu mengembalikan fungsi organisai yaitu dengan cara mengurangi
perbedaan, memperbaiki komunikasi dan pemahaman dan mengklarifikasi peran dan
prosedur.
Saran
i. Untuk meminimalisir konflik yang destruktif, PT.Drydocks harus memperhatikan
perbedaan kultur diantara karyawannya dan kemudian memutuskan cara pendekatan
seperti apa yang sesuai untuk menciptakan kondisi yang baik untuk kepentingan
perusahaan.
ii. Tenaga Kerja Indonesia harus memiliki posisi negosiasi yang kuat untuk
tetap memenangkan keinginannya. Untuk itu diperlukan strategi negosiasi yang
kuat dan cerdas agar bisa memecahkan konflik yang ada.
iii. Pemerintah harus memperkuat pengawasannya terhadap perusahaan yang
memperkejakan tenaga kerja asing. Dan memastikan apakah perusahaan ini telah
melaksanakan UU tenaga kerja dengan baik.
iv. Tenaga Kerja Asing juga harus memahami budaya dimana ia bekerja dan
berusaha untuk membuka komunikasi yang baik, sehingga meminimalisir prasangka.
Daftar Pustaka
Gitosudarmo Indriyo Drs., M.Com. (Hons)., & Drs. I. Nyoman Sudita, M.M.
(2000). Perilaku Keorganisasian Edisi (cetakan kedua). Penerbit BPFP
Yogyakarta.
Liliweli Alo Prof. DR. M. S. (2006). Prasangka dan Konflik. Penerbit LKiS
Yogyakarta.
McShane, S.L., & Von Glinow, M.A. (2005). Organizational Behavior, Emerging
Knowledge and Practice for the Real World. Boston: McGraw-Hill Irwin.
Pickering, Peg. (2006). How to Manage Conflict (Kiat Menangani Konflik).
Penerbit Erlangga. Indonesia.
Robbins P Stephen & Judge A Timothy. (2008). Perilaku Organisasi Edisi 12
(Buku 2). Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Ruky Tresnawardhani Dian. (1998). Skripsi : Persepsi Terhadap Konflik,
Sumber-Sumber Konflik Antar TKI-TKA Dalam Organisasi dan Gaya Penanganan
Konflik Pada Manajer Indonesia. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Depok
http://www.bbc.co.uk/indonesia/mobile/berita_indonesia/2010/04/100423_batam.shtml?page=5
http://www.tribunnews.com/2010/04/26/kesenjangan-gaji-dan-fasilitas-jadi-pemicu
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-juanita3.pdf
www.drydocksworld-southasia.com
adien.student.umm.ac.id/2010/02/11/teori-konflik/
KOMPAS, Selasa, 21/04/2010
Komentar
Posting Komentar